Sudahkah Kita Melek Politik dan Peduli Pada Negeri? Mari Mengulas Film “2014!”

Sudahkah Kita Melek Politik dan Peduli Pada Negeri? Mari Mengulas Film “2014!”

Apa kamu sudah nonton film “2014” karya Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra? Memang sudah lama sih rilis-nya, jadi ulasan ini agak telat. Ketika film ini naik tayang di layar lebar pun, respon publik nampaknya tidak terlalu bombastis, sebagaimana film impor Fast & Furious dan Avengers. Sangat disayangkan, meski memang film ini tidak sempurna, namun pemilihan temanya yang unik dan dibalut dengan nuansa populis, menurut saya, cukup perlu diapresiasi.

Film ini mengangkat tema drama politik sebagai benang merahnya. Tentu saja film dengan tema drama politik dan nasionalisme bukan hal baru dalam dunia film Indonesia moderen. Beberapa nama seperti Deddy Mizwar, Riri Riza, dan Garin Nugroho telah sering mencoba bicara “politik” melalui layar sinema. Sebut saja judul seperti Nagabonar (versi lampau) Nagabonar Jadi Dua (versi moderen), Gie, Soegija, serta judul-judul lainnya. Semuanya mencoba bicara sejarah politik Indonesia dengan mengangkat tokoh tertentu. Hanung Bramantyo dengan film Soekarno juga adalah salah satu contoh dari film Indonesia kontemporer yang mengangkat cerita dari seorang pendiri negeri ini.

Dalam rangka menyambut semarak Pilpres di Indonesia, di awal tahun 2015 lalu, Hanung kembali mempersembahkan karya terbarunya: 2014. Berbeda telak dengan Soekarno yang mengangkat tokoh non-fiksi, 2014 adalah sebuah film fiksi yang dibuat dengan latar belakang masyarakat kekinian. Judul singkat “2014” tentu merujuk pada tahun terselenggaranya pemilihan presiden di Indonesia yang menjadi tema utama cerita film ini.

Namun, tidak seperti karya-karya sebelumnya, Hanung bukanlah “sutradara utama” dalam pembuatan film ini. 2014 sesungguhnya ditukangi oleh Rahabi Mandra, sutradara muda berbakat yang memimpin mayoritas pembuatan film. Ia pula yang menjadi penulis skenario bersama Ben Sihombing. Sementara keseluruhan produksi film adalah tanggung jawab produser Celerina Judisari dari Mahaka Pictures.

http://www.isigood.com/inspirasi/sudahkah-kita-melek-politik-dan-peduli-pada-negeri-mari-mengulas-film-2014/
Dr. Arief Munandar : Mari Melek Politik

Dr. Arief Munandar : Mari Melek Politik

Dr. Arief Munandar, ME adalah Doktor Sosiologi Politik dan Organisasi dari Universitas Indonesia. Lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2011 dengan riset seputar dinamika internal partai politik Indonesia pasca reformasi. Saat ini ia menekuni pengembangan SDM, khususnya leadership soft-competencies. Di samping menjadi eksekutif dan konsultan senior di sebuah perusahaan konsultan nasional, ia juga menggagas dan membina Shafa Community dan Rumah Peradaban.
Salah satu kesalahan umat Islam sejak dulu adalah polos, buta politik, bahkan alergi dan menarik diri dari politik.
Ini adalah warisan konstruksi berpikir kolonial, disetting: 

- Politik itu urusan orang kulit putih,
- Bisnis itu urusan etnis Cina,  sedangkan
- Pribumi ya jadi petani, pegawai, atau buruh. 
Padahal kebijakan yang mengatur arah kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan melalui mekanisme politik. Coba lihat betapa dahsyatnya permainan politik dan dampaknya. Dampak tersebut menjadi berkali lipat lebih luar biasa karena politik pasti berjalin-berkelindan dengan media.
 
Seorang Jokowi dalam waktu sangat singkat bisa naik dari Walikota Solo, jadi Gubernur DKI, lalu jadi Presiden. Hampir tidak ada yang mempersoalkan bahwa beliau tidak pernah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Walikota dan Gubernur dengan baik. 
Paralel dengan itu, seorang Ahok bisa melesat dari Bupati Belitung Timur menjadi Wagub DKI, dan kemudian jadi Gubernur di Ibu Kota Negara.
Banyak umat Islam dengan polos melihat dua fenomena di atas sebagai kebetulan. Padahal orang yang belajar politik sedikit saja pasti paham, tidak ada kebetulan dalam politik. Selalu ada agenda, strategi dan skenario di balik setiap peristiwa. Selalu ada _master mind_ di belakang itu semua. Bahkan selalu ada penyandang dana yang berkepentingan memastikan bahwa dampak peristiwa poltik tersebut memberikan benefit yang lebih besar ketimbang cost yang dikeluarkan.
Sama naifnya kalau kita menganggap bahwa kebetulan Ade Komarudin menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi sebagai Ketua DPR RI. Lalu Setya Novanto, yang saat berkunjung ke AS hadir di kampanye Donald Trump, malah terpilih jadi Ketum Golkar. Apa mungkin Setya Novanto bisa jadi pucuk pimpinan Partai Beringin tanpa campur tangan Ical ? Oh ya, jangan lupa, Donald Trump adalah kandidat Presiden AS yang terkenal sangat anti Islam. Salah satu gagasan dalam kampanyenya adalah melarang masuknya muslim ke negara Paman Sam.
Cerita tidak berhenti di situ. Tak lama setelah Setya Novanto jadi bos Golkar, partai warisan Orba ini langsung menyatakan dukungan kepada Ahok untuk kembali menjadi DKI Satu, menyusul Nasdem dan Hanura yang sudah lebih dahulu menyorongkan dukungan.
Kelanjutannya kita semua sudah mahfum. Tindakan Ahok menggusur ribuan warga marjinal di Jakarta tidak pernah disorot media. Demikian pula dugaan korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras tidak 'dikuliti' dengan antusias oleh para jurnalis.
Sebaliknya, kasus kecil razia Satpol PP terhadap seorang pedagang di Serang yang membuka warung di siang hari bulan Ramadhan diblow-up media dengan gegap gempita, dengan _angle_ yang menyudutkan umat Islam. Padahal Satpol PP hanya menegakkan Perda yang sudah bertahun-tahun berlaku di Serang, sebuah wilayah dengan 95% warga muslim. Kacaunya, Presiden dengan sangat patriotik menyumbang 10 juta untuk si pedagang. Bahkan para netizen menggalang dana hingga 130 juta sebagai wujud simpati.
Mengapa misalnya Jokowi tidak menyumbang dan para netizen tidak menggalang dana simpati yang sedemikian signifikan untuk para korban penggusuran Ahok ? Apakah karena para warga marjinal itu melanggar Perda mengenai tata ruang sebagaimana selama ini didalihkan Ahok ? Kalau begitu sama saja, bro! Pedagang di Serang itu dirazia Satpol PP karena melanggar Perda yang mengatur jam buka gerai makanan selama Ramadhan.
Coba tengok bagaimana gegap gempitanya pemberitaan bahwa KPK menyatakan kasus RS Sumber Waras bebas dari korupsi, padahal BPK sebelumnya nyata-nyata mengindikasikan kerugian negara ratusan milyar dalam kasus ini. 

Sebaliknya, rentetan penggusuran yang dilakukan Ahok sepi-sepi saja di media. Kok bisa ? Kebetulan ? Pastinya tidak. Silakan lihat siapa BOS BESAR di balik media-media kita.
Jadi kalau kita melihat banyak Perda bernuansa syariah dilucuti oleh rejim Jokowi, itu mah lumrah. Justru aneh kalau tidak begitu. Mungkin masih banyak yang belum ngeh bahwa partainya Pak Jokowi ngotot mengubah isi UU Perkawinan tahun 1974 yang tidak merestui perkawinan beda agama. 

Partai tersebut juga berupaya menghilang ketentuan dalam UU Pendidikan Nasional yang mengharuskan sekolah menyediakan guru agama yang seagama dengan anak didiknya. Bahkan partai yang sama berada di barisan terdepan penentang UU Anti Pornografi.
Satu lagi. Di samping polos dan kurang melek politik, sebagian umat ini juga kurang tajam logikanya, sehingga mudah dijebak oleh kerancuan berpikir yang dihembuskan para politisi. Misalnya, Ahok kerap mengatakan, pilih mana antara pemimpin muslim tapi korup, atau pemimpin kafir tapi tidak korup. Duh, itu fallacy of comparison namanya. Kita dipaksa memilih dua pilihan yang keduanya salah. Kita dibutakan sedemian rupa seolah tidak ada pilihan yang lain. Padahal, belum tentu saat ini pemimpin kafir yang tidak korup itu benar-benar ada. Padahal, belum tentu pemimpin kafir yang bicara begitu - which is Ahok sendiri - benar-benar tidak korup. Padahal, banyak pemimpin muslim yang tidak korup.
Jadi masih tetap mau polos dan apolitis ? (Anti Politik)
 
http://infonesiaterbaru.blogspot.co.id/2017/01/dr-arief-munandar-mari-melek-politik.html
 
Mari Melek Politik

Mari Melek Politik

Bermula dari percakapan saat makan siang bersama teman-teman kantor:
“Eh, kalian pilih mana nih ntar Pemilu? Bingung gue”
Pertanyaan itu disambut dengan beberapa jawaban dari buah pemikiran & frame of refference masing-masing tentunya.
“Ah gue kecewa man ama ‘si itu’, gue pengennya dia tetep di jabatannya sekarang”
“Ah aku seneng sih ‘si ono’ naik, paling meyakinkaaan”
“Eh kalo ‘si anu’ yang menang, takut gue”
Terus terang, saya suka mendapati percakapan-percakapan seperti ini dari lingkungan sekitar, khususnya temen kantoran yang mana seringkali kita ngobrolinnya cuma soal kerjaan dan project client doang. Saya senang, kami berdiskusi mengenai “perpolitikan” secara terbuka. Kami saling bertukar informasi serta pandangan pandangan mengenai  beberapa kelompok pollitik sampai ngebahas campaign-campaignnya di dunia digital.
Kemudian ada juga yang berpendapat mengenai jaman kepemimpinan Soeharto, nah kalau soal itu saya setuju dengan pandangan Pandji di blognya ini, baca aja sendiri yah.
Dulu, boro boro saya ngomongin politik. Waktu kuliah, blasss… saya engga pernah suka dan tertarik. Karena bagi saya kotor gitu ngomongin politik, saya seakan akan menyumbangkan waktu saya untuk memperkaya para koruptor, menyumbangkan tenaga saya mikirin orang-orang yang kerjanya belom tentu bener.
Semua itu berubah sejak saya mengenal ….. … gaji.
Iya saat saya mulai bekerja di tahun 2009. Dimana saya mulai berurusan dengan pihak pihak kepemerintahan. Mulai dari bikin NPWP, pindah KTP, KK, urus ini dan urus itu. Selama ini sih biasanya Ibu yang ngurusin, trus ketika tinggal di Jakarta sendiri, aku engga bisa lagi. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya sendiri sebagai bagian dari masyarakat. Dan toh……..sampai kapan saya menggantungkan nasib saya sendiri untuk urus ini itu ke orang tua. Nanti jadi kebiasaan.
Kemudian saat sudah menikmati gaji dan merasakan ribetnya ngurus ini itu secara administratif, saya mulai tuh kenal sama yang namanya pajak. Kemudian mikir. Wait … gaji, yang mana saya kumpulin dengan bekerja setiap hari siang – malam ini dipotong, lalu dipotong ke mana? untuk siapa? flownya gimana? hasilnya apa? Jadi inget salah satu poin di siasat kebudayaan dari Pidato Karina Supelli ini :

Mulai dari sinilah, saya mencari tahu. Well bukannya sekarang jadi tahu banyak juga sih, tapi saya jadi melek. Banyak hal hal yang berlangsung dalam keseharian kita ini adalah hasil atau pengaruh dari keputusan politik yang dihasilkan oleh wakil wakil kita di DPRD dan juga para pemimpin Indonesia.
Q: Kenapa banyak banget ya yang dipilih?  DPR, DPRD, DPD. Bedanya apa coba?
Aku akan sedikit mengutip jawaban mas @ShafiqPontoh ya. DPR, DPRD Tk1, DPRD TK2 adalah wakil kita di legislatif via partai.
DPR
 Anggota DPR itu perlu dipilih, karena salah satunya menentukan approval APBN yang hendak dilakukan oleh presiden terpilih. Hal ini tentu berpengaruh, bila Presiden terpilih kita orangnya okeh, dia tidak bisa apa-apa kalau DPR nya tidak mendukung dia. Trus kalo Presiden gak okeh, DPR dukung dia, kita rakyat yang dirugikan. Itu sebabnya memilih anggota DPR di pemilu legiaslatif ini menjadi sangat penting sekali
DPRD
DPRD tk 1 untuk mewakili kita di tingkat Propinsi. Pegang APBD untuk Gubernur. DPRD tk 2 untuk mewakili kita di tingkat Kota. Pegang APBD untuk Walikota. 
DPD
Kalau DPD itu setara sama perwakilan daerah. Posisinya setara dengan DPR, tapi fungsinya setara turun hingga ke daerah
Fungsi DPR, DPRD & DPD selain untuk pengesahan APBN, fungsi lainnya, adalah untuk pengesahan UU. Nah makanya penting untuk dipilih.
Q: Enaknya milih yang gimana ya, Ne? Orang dengan track record bersih ya?
Sekarang dengan kemajuan teknologi & informasi, ga ada alasan lagi buat tutup mata tentang para calon-calon legislatif. Kita bisa lacak histori mereka, latar belakang mereka.
Iya, track record penting, namun setelahnya kita harus tahu visi misi mereka, cari tahu apa yang mereka perjuangkan! Karena kalo orangnya track record bersih namun memperjuangkan hal yang bertolak belakang sama keyakinanmu, sayang :(. Memilih yang pintar ya
Misal kalo peduli terhadap musik & hak hak intelektual, cari caleg yang mempunyai gambaran itu pada visi misinya. Atau yang ga pengen ada banyak Mall dan lebih banyak taman, cari yang memperjuangkan lahan publik.

https://rahneputri.com/2014/04/08/mari-melek-politik/

Jangan Buta Politik

Jangan Buta Politik

Saya menuliskan pernyataan dari Bertalt Bracht berikut ini di timeline saya:

Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional. Bertalt Bracht (Penyair Jerman)

Mari melek politik!

---

Ada yang bertanya:
wis serem... kalo bedanya politik sama strategi apa pak??? setau saya sih kalau Rasululloh saw. dan Pejuang di belahan bumi Asia istilah yang digunakan adalah Strategi, mulai dari strategi perang, strategi ekonomi sampei sosial, dan strategi itu menggunakan adab, etika dan panduan... kalau politik sy tidak tau apakah ada etikanya atau sekedar untuk mencapai tujuan bagaimanapun caranya... 
---

Jawaban saya:
AFAIK, strategi itu kepanjangan dari politik. Strategi menjangkau sesuatu yang lebih spesifik dari politik. Betul itu, contohnya ada strategi perang, strategi ekonomi, dll.
Politik secara definisi banyak siy artinya, macam-macam dari banyak ilmuwan. Yg saya suka dan tampak mengena adalah:

 
(1)Sbg usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(2)Sbg suatu hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
(3) Merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
(4) politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.


Jadi, politiknya sendiri tidak masalah (saya yakin ini). Yg masalah itu adalah manusia pelakunya. The man behind the gun-nya .... Mudah2an masyarakat kita semakin tercerahkan pengetahuan politiknya, agar semua proses politik yg terjadi ditengah-tengah masy itu juga cerah, dan pada gilirannya terlahir pula pemimpin politik yg mencerahkan, jujur dan amanah. #Semoga
--

Ada yang respon lagi:
Jika istilah Politik itu muncul saat Kekaisaran Roma membentuk Senat, maka saya lebih suka ketika Conan the barbarian memukulkan Kapaknya diatas meja Senat, dan ketika william wallace memaki para bangsawan skotland yang rame berdebat, meskipun karena politik william wallace jadi korban... dan saya lebih memilih jaman Rasululloh sampe Khalifah Umar bin Khatab dibanding setelahnya yang sudah melakukan sistem pemilihan... kami Rindukan Amirul Mukminin yang takut pada Tuhan bukan pada para pendukungnya apalagi pada data2 survei2 apalah... hehehe...

---
Berikut ini jawaban saya:
Setuju, dan benar sekali. Kita (ummat Islam) punya romantisme sejarah terhadap kehidupan sosial di masa Rasulullah SAW. Pertanyaannya adalah, bagaimana mentransformasi nilai-nilai yang kita rindukan itu dalam konteks kekinian? ke dalam konteks bernegara kita saat ini? 
 
Mau tidak mau, suka tidak suka, kebijakan, keputusan atau perangkat apapun yang ditujukan sebagai aturan bersosial, dibuat oleh lembaga-lembaga politik. Dalam sudut pandang inilah, himbauan untuk melek politik menjadi sebuah keniscayaan. 

 
Masa bodoh, apatis, cuek, ataupun anti politik sungguh bukanlah pilihan yg tepat untuk diambil saat ini, jika kepentingan masyarakat tidak ingin terus tergadaikan di tangan-tangan 'yang kotor'... #Merdeka
 


http://www.fersus.com/2014/01/buta-yang-terburuk-adalah-buta-politik.html