Dr. Arief Munandar, ME adalah Doktor Sosiologi Politik dan Organisasi
dari Universitas Indonesia. Lulus dengan predikat cum laude pada tahun
2011 dengan riset seputar dinamika internal partai politik Indonesia
pasca reformasi. Saat ini ia menekuni pengembangan SDM, khususnya
leadership soft-competencies. Di samping menjadi eksekutif dan konsultan
senior di sebuah perusahaan konsultan nasional, ia juga menggagas dan
membina Shafa Community dan Rumah Peradaban.
Salah satu kesalahan umat Islam sejak dulu adalah polos, buta politik, bahkan alergi dan menarik diri dari politik.
Ini adalah warisan konstruksi berpikir kolonial, disetting:
- Politik itu urusan orang kulit putih,
- Bisnis itu urusan etnis Cina, sedangkan
- Pribumi ya jadi petani, pegawai, atau buruh.
Padahal kebijakan yang mengatur arah kehidupan berbangsa dan bernegara
ditentukan melalui mekanisme politik. Coba lihat betapa dahsyatnya
permainan politik dan dampaknya. Dampak tersebut menjadi berkali lipat
lebih luar biasa karena politik pasti berjalin-berkelindan dengan media.
Seorang Jokowi dalam waktu sangat singkat bisa naik dari Walikota Solo,
jadi Gubernur DKI, lalu jadi Presiden. Hampir tidak ada yang
mempersoalkan bahwa beliau tidak pernah menyelesaikan masa jabatannya
sebagai Walikota dan Gubernur dengan baik.
Paralel dengan itu, seorang Ahok bisa melesat dari Bupati Belitung Timur
menjadi Wagub DKI, dan kemudian jadi Gubernur di Ibu Kota Negara.
Banyak umat Islam dengan polos melihat dua fenomena di atas sebagai
kebetulan. Padahal orang yang belajar politik sedikit saja pasti paham,
tidak ada kebetulan dalam politik. Selalu ada agenda, strategi dan
skenario di balik setiap peristiwa. Selalu ada _master mind_ di belakang
itu semua. Bahkan selalu ada penyandang dana yang berkepentingan
memastikan bahwa dampak peristiwa poltik tersebut memberikan benefit
yang lebih besar ketimbang cost yang dikeluarkan.
Sama naifnya kalau kita menganggap bahwa kebetulan Ade Komarudin
menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi sebagai Ketua DPR
RI. Lalu Setya Novanto, yang saat berkunjung ke AS hadir di kampanye
Donald Trump, malah terpilih jadi Ketum Golkar. Apa mungkin Setya
Novanto bisa jadi pucuk pimpinan Partai Beringin tanpa campur tangan
Ical ? Oh ya, jangan lupa, Donald Trump adalah kandidat Presiden AS yang
terkenal sangat anti Islam. Salah satu gagasan dalam kampanyenya adalah
melarang masuknya muslim ke negara Paman Sam.
Cerita tidak berhenti di situ. Tak lama setelah Setya Novanto jadi bos
Golkar, partai warisan Orba ini langsung menyatakan dukungan kepada Ahok
untuk kembali menjadi DKI Satu, menyusul Nasdem dan Hanura yang sudah
lebih dahulu menyorongkan dukungan.
Kelanjutannya kita semua sudah mahfum. Tindakan Ahok menggusur ribuan
warga marjinal di Jakarta tidak pernah disorot media. Demikian pula
dugaan korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras tidak
'dikuliti' dengan antusias oleh para jurnalis.
Sebaliknya, kasus kecil razia Satpol PP terhadap seorang pedagang di
Serang yang membuka warung di siang hari bulan Ramadhan diblow-up media
dengan gegap gempita, dengan _angle_ yang menyudutkan umat Islam.
Padahal Satpol PP hanya menegakkan Perda yang sudah bertahun-tahun
berlaku di Serang, sebuah wilayah dengan 95% warga muslim. Kacaunya,
Presiden dengan sangat patriotik menyumbang 10 juta untuk si pedagang.
Bahkan para netizen menggalang dana hingga 130 juta sebagai wujud
simpati.
Mengapa misalnya Jokowi tidak menyumbang dan para netizen tidak
menggalang dana simpati yang sedemikian signifikan untuk para korban
penggusuran Ahok ? Apakah karena para warga marjinal itu melanggar Perda
mengenai tata ruang sebagaimana selama ini didalihkan Ahok ? Kalau
begitu sama saja, bro! Pedagang di Serang itu dirazia Satpol PP karena
melanggar Perda yang mengatur jam buka gerai makanan selama Ramadhan.
Coba tengok bagaimana gegap gempitanya pemberitaan bahwa KPK menyatakan
kasus RS Sumber Waras bebas dari korupsi, padahal BPK sebelumnya
nyata-nyata mengindikasikan kerugian negara ratusan milyar dalam kasus
ini.
Sebaliknya, rentetan penggusuran yang dilakukan Ahok sepi-sepi saja di media. Kok bisa ? Kebetulan ? Pastinya tidak. Silakan lihat siapa BOS BESAR di balik media-media kita.
Jadi kalau kita melihat banyak Perda bernuansa syariah dilucuti oleh
rejim Jokowi, itu mah lumrah. Justru aneh kalau tidak begitu. Mungkin
masih banyak yang belum ngeh bahwa partainya Pak Jokowi ngotot mengubah
isi UU Perkawinan tahun 1974 yang tidak merestui perkawinan beda agama.
Partai tersebut juga berupaya menghilang ketentuan dalam UU Pendidikan Nasional yang mengharuskan sekolah menyediakan guru agama yang seagama dengan anak didiknya. Bahkan partai yang sama berada di barisan terdepan penentang UU Anti Pornografi.
Satu lagi. Di samping polos dan kurang melek politik, sebagian umat ini
juga kurang tajam logikanya, sehingga mudah dijebak oleh kerancuan
berpikir yang dihembuskan para politisi. Misalnya, Ahok kerap
mengatakan, pilih mana antara pemimpin muslim tapi korup, atau pemimpin
kafir tapi tidak korup. Duh, itu fallacy of comparison namanya. Kita
dipaksa memilih dua pilihan yang keduanya salah. Kita dibutakan sedemian
rupa seolah tidak ada pilihan yang lain. Padahal, belum tentu saat ini
pemimpin kafir yang tidak korup itu benar-benar ada. Padahal, belum
tentu pemimpin kafir yang bicara begitu - which is Ahok sendiri -
benar-benar tidak korup. Padahal, banyak pemimpin muslim yang tidak
korup.
Jadi masih tetap mau polos dan apolitis ? (Anti Politik)
http://infonesiaterbaru.blogspot.co.id/2017/01/dr-arief-munandar-mari-melek-politik.html
EmoticonEmoticon